Sampang, Potretrealita.com – Persidangan kasus dugaan penipuan jual beli tanah dengan terdakwa Syamsiah binti Ach. Hasan amburadul fakta mengejutkan dalam persidangan saksi dari Amin suami pelapor Rinda Wati tidak sama keterangannya dengan saksi saksi sebelumnya yang di hadirkan oleh jaksa penuntut Umum (JPU)
Dalam persidangan ke 7 Achmad amin sebagai saksi dari pelapor rinda wati yang didatangkan JPU pernyatakan terkait teransaksi pembelian tanah ia mengakui bahwa awalnya yang memberi kabar ada tanah mau dijual adalah Rizal lalu dikemudian beberapa hari Rizal bersama Samsiyah datang kerumahnya menawarkan tanah tersebut ahirnya deal dengan harga 650 juta, sempat beberapa hari kemudian Rinda Wati bersama Amin melihat tanah yang mau dibelinya, terkait pembayaran Amin pasrah ke istrinya (Rinda Wati ) ngsih DP 20 Juta, ke esok malamnya lagi ngasih uang 50jt dari DP tersebut maka Samsiyah dibuatkan Kuitansi dengan totol DP 70 Juta dengan jaminan Akte tanah atas nama ibunya Samsyah dan tidak lama kemudian ada pembayaran 7 Juta dan 78 Juta yang tertera di kuitansi dari keterangan amin, di akui oleh samsiyah walaupun uang tersebut di ambil lagi oleh tersaka Rizal dengan bermacam alasan rizal untuk pengurusan sertifikat tanah dan buat beli proyek mengelabui terdakwa Samsiyah.
Amburadulnya dalam keterangan saksi Amin dan saksi sebelumnya yang di datagkan oleh JPU tidak sama dalam kesaksiannya untuk memberi keterangan sebenarnya.
Dalam pembayaran uang 95jt berupa mobil Avanza warna merah, 150jt avansa velos dan Dam truk 245 jt diserahkan ke tesangka Rizal dari keterangan pelapor Rinda Wati saat sidang sebelumnya.
Sidang Sebelumnya, saksi tersangka Rizal menyebutkan bahwa hasil penjualan sebuah dumtruck hanya Rp120 juta, dari jumlah itu, Rp100 juta dipakai langsung oleh Amin untuk kebutuhan politik Pilkades PAW Gunung Maddah tahun 2019, sementara Rp20 juta lainnya kembali masuk ke kantong pribadi Amin. Rizal sendiri hanya menerima “upah” Rp3 juta karena turut dilibatkan menjalankan skenario tersebut.
Namun, amburadul keterangan yang berbeda justru datang dari pihak pembeli dumtruck, yang mengaku membeli kendaraan itu seharga Rp235 juta di pegadaian, dan yang lebih mengejutkan lagi, Amin sendiri di hadapan majelis hakim mengklaim bahwa dumtruck laku Rp350 juta dan tidak pernah digadaikan di pegadaian.
Perbedaan angka yang membekudak ini jelas bukan sekedar salah ucap, dari Rp120 juta, Rp235 juta, hingga Rp350 juta, tiga versi berbeda dari satu objek yang sama, menjadi potret nyata adanya rekayasa transaksi, bahkan publik mulai bertanya, apakah dumtruck itu benar-benar dijual, atau hanya dijadikan alat permainan untuk membangun narasi penipuan, Karena syamsiah, Uang Maupun Kwitansi tidak merasa menerima, fakta ini memperkuat dugaan kuasa hukum bahwa setiap cerita yang melibatkan transaksi barang maupun uang hanyalah sandiwara yang dipentaskan di ruang sidang.
Ketidakjelasan ini bukan hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga menegaskan bahwa yang sebenarnya menikmati hasil dari penjualan aset tersebut adalah pihak pelapor sendiri, bukan Syamsiah dan tersangaka Rizal
Dengan kata lain, Syamsiah sama sekali tidak terbukti mengambil keuntungan. Justru, ia yang kini dijadikan kambing hitam agar kegagalan politik dan kepentingan ekonomi pihak tertentu bisa ditutupi.
“Objek tanah dan kos-kosan ini sah secara hukum, nyata ada, dan terbukti tidak fiktif, unsur penipuan sama sekali tidak terpenuhi, perkara ini jelas-jelas perdata, bukan pidana, klien kami sedang dikorbankan oleh kepentingan pihak tertentu,” tegas Didiyanto SH, MKn, kuasa hukum Syamsiah.
Penasihat hukum lainnya, Ahmad Bahri, juga menambahkan dengan lantang:
“Kesaksian yang saling bertolak belakang ini justru membongkar siapa sebenarnya dalang di balik perkara ini. Syamsiah hanyalah korban yang dijadikan tumbal, kami berharap majelis hakim membuka mata hati, jangan sampai keadilan tunduk pada rekayasa.”
Lebih jauh, tim kuasa hukum menyoroti kehadiran Achmad Amin sebagai saksi. Amin yang notabene suami pelapor, dinilai tidak sah secara hukum untuk menjadi saksi karena jelas memiliki konflik kepentingan, kondisi ini semakin memperlihatkan bahwa persidangan dipaksakan hanya untuk membenarkan narasi sepihak.
Bagi publik, kasus ini kini menjadi cermin rapuhnya wajah penegakan hukum di Sampang, apakah pengadilan berani menegakkan kebenaran dan melindungi korban, atau justru membiarkan praktik manipulatif yang mengorbankan seorang perempuan sederhana yang semestinya dilindungi hukum?
Masyarakat kini menanti dengan cemas: apakah Syamsiah akan mendapat keadilan, atau justru kembali harus menanggung derita akibat rekayasa yang dipelihara?
Sidang kelima pada 4 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri Sampang menghadirkan lima saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU): Rinda Wati, Rizal (tersangka lain), Ali, Abdul Asis, dan seorang pembeli dump truck. Namun di hadapan majelis hakim, saksi-saksi ini, terutama Rizal, justru membongkar bahwa tuduhan terhadap Syamsiah sarat rekayasa dan kepentingan pribadi.
Rizal yang kini juga menjadi tahanan Polres Sampang mengaku Syamsiah hanya menerima Rp70 juta, itu pun langsung diminta kembali olehnya (RIZAL) dengan dalih Buat biaya sertifikat, itupun biaya 1.500.000 pendaftarannya, dan sisanya dihabiskan untuk membayar hutang pribadinya dan memenuhi proyek milik Rizal serta Amin, mantan Kepala Desa Baruh yang tak lain adalah suami pelapor Rinda Wati.
Lebih parah lagi, dari total Rp120 juta yang disebut sebagai pembayaran tanah dan rumah, Rp100 juta justru diambil Amin untuk kepentingan politik Pilkades PAW Gunung Maddah tahun 2019, sisanya Rp20 juta juga masuk ke kantong pribadi Amin, rizal bahkan mengaku hanya mendapat “upah” Rp3 juta untuk membantu menjalankan skenario ini.
Barang-barang yang disebut pelapor sebagai pembayaran rumah, seperti cincin dan HP Samsung J7, dibantah keras oleh Rizal. Itu bukan pembayaran, melainkan pinjaman pribadi yang sengaja dipelintir dalam tuduhan.
Sidang lanjutan pada 11 Agustus 2025 semakin memojokkan pihak pelapor. Dua saksi kunci, Daniel Fitrianto Sepupu terdakwa dan Hoiriyah, bibi kandung terdakwa membeberkan bahwa tanah dan rumah kos yang dipersoalkan memang nyata dan merupakan harta warisan keluarga sejak lama.
“Tanah itu milik Kakek syamsiah, rumah dan kos itu dibangun dari hasil jerih payah Syamsiah” tegas Hoiriyah
Pengacara Syamsiah, Didiyanto SH. MKn, menyebut fakta persidangan ini sebagai pukulan telak terhadap dakwaan.
“Objek tanah dan kos-kosan ini sah secara hukum, dan terbukti nyata ada. Unsur penipuan runtuh total, perkara ini seharusnya perdata, bukan pidana. Klien kami sedang dikorbankan,” ujarnya.
Senada, Ahmad Bahri selaku tim penasihat hukum menegaskan, “Bukti dan saksi tidak hanya menguatkan pembelaan, tapi membongkar siapa sebenarnya dalang di balik kasus ini. Kami minta majelis hakim membuka mata, jangan sampai korban justru dihukum.”
Kasus ini kini menjadi ujian bagi penegakan hukum di Sampang. Masyarakat menunggu, apakah pengadilan akan berpihak pada fakta atau tetap membiarkan rekayasa ini mengorbankan seorang perempuan yang seharusnya dilindungi.
Sidang akan kembali digelar Kamis depan untuk menghadirkan saksi tambahan dan bukti dokumen kepemilikan tanah serta bangunan kos yang selama ini dipersoalkan. Publik menanti, apakah keadilan akan menang atau permainan kotor kembali menguasai ruang sidang. (Sujai)