Surabaya, Potretrealita.com – 1 Suro 1958 Saka, hal ini sesuai keyakinan Jawa mengenai pergantian hari baru dimulai saat Matahari terbenam pada hari sebelumnya. Perayaan malam satu Suro memiliki makna sebagai peringatan tanda pergantian waktu. Ini dianggap sangat penting dan berhubungan langsung dengan siklus kehidupan, ritual, perhitungan, dan lainnya. Menurut Romo Arief (panggilan akrab Arief), Tokoh Budaya yang memiliki Padepokan Sukmo Limo Indonesia di Surabaya, bulan Suro menurut masyarakat suku Jawa sebagai bulan sakral. Berbagai macam acara diselenggarakan masyarakat Jawa dari berbagai daerah dengan kegiatan dan makna berbeda-beda dalam rangka merayakan malam satu Suro yang bertujuan untuk tetap menjaga kedaulatan Nusantara dalam bentuk uri-uri Budaya Jawa.
Awal mula perayaan malam satu Suro konon bertujuan untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Pada tahun 931 Hijriah atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriah (Islam) dengan sistem kalender Jawa pada masa itu.
Sementara menurut catatan sejarah lainnya, penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Pada 1633 Masehi atau 1555 tahun Jawa, Sultan Agung menetapkan Tahun Jawa atau tahun Baru Saka diberlakukan di bumi Mataram dan menetapkan 1 Suro sebagai tanda awal tahun baru Jawa.
Makna malam satu Suro bagi masyarakat Jawa di beberapa daerah mengenai bulan Suro diartikan sebagai bulan yang menyeramkan, seperti penuh bencana dan bulannya para makhluk gaib. Beberapa masyarakat juga masih percaya dengan berbagai macam mitos yang pantang untuk dilanggar, seperti larangan malam 1 Suro untuk keluar rumah.
Pesan Romo Arief saat ada kunjungan Bintara Polsek Rungkut Polrestabes Surabaya, Aiptu Agus subianto dan Aipda Achmad Irwan fauzi di Padepokan Sukmo Limo Indonesia mengatakan , “bulan Suro bagi masyarakat Jawa dianggap bulan prihatin. Tidak tepat melakukan kegiatan pesta di bulan seperti itu, karena diyakini akan berakibat tidak baik jika ketentuan itu dilanggar. Demi mendapat keselamatan, pada bulan Suro sangat disarankan untuk kegiatan tirakatan atau mendekatkan diri kepada Tuhan”, ungkapnya.
Romo Arief juga berharap mampu untuk belajar menahan diri dalam satu bulan Suro ini dengan tirakat dan perbuatan yang baik terhadap sesama, berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu. Di sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada.
“Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan,” dijelaskan. (Red)