Oleh: AKHMAD JUNAIDI., SPD., S.H., M.H.
Program Studi Doktor Ilmu Hukum angkatan 48. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Email: Edyjaya78@gmail.com
Hukum yang Hidup di Antara Dua Dunia
Hukum Indonesia selalu berada di antara dua kutub yang saling tarik menarik: tradisi dan inovasi. Di satu sisi, hukum adat dan kearifan lokal adalah warisan luhur yang membentuk jati diri bangsa — sistem nilai yang telah mengatur kehidupan masyarakat jauh sebelum datangnya hukum kolonial.
Di sisi lain, arus modernisasi dan globalisasi menuntut hukum yang serba cepat, efisien, dan rasional.
Seperti dikatakan Soetandyo Wignjosoebroto, perjalanan hukum Indonesia adalah upaya panjang untuk menyeimbangkan warisan hukum Barat dengan hukum adat yang hidup di masyarakat. Sayangnya, modernisasi hukum yang terlalu meniru model Eropa sering kali justru menjauhkan hukum dari rakyatnya.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Satjipto Rahardjo, yang menegaskan bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks dan pasal. Hukum seharusnya menjadi alat mencapai keadilan sosial, bukan sekadar kumpulan peraturan yang kaku. Maka, pembaruan hukum Indonesia perlu berpijak pada nilai-nilai budaya sendiri — agar modernisasi tidak kehilangan akar.
—
Tradisi sebagai Sumber Moral dan Jati Diri Bangsa
Kearifan lokal pada dasarnya adalah jiwa moral hukum rakyat. Seperti dijelaskan Eugen Ehrlich dalam konsep living law, hukum yang hidup bukanlah yang tertulis di buku, melainkan yang benar-benar dijalankan dalam kehidupan sosial. Di Indonesia, hukum adat adalah wujud paling nyata dari hukum yang hidup itu.
Kusumaatmadja pernah mengatakan, hukum adalah alat pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering). Namun, perubahan hukum tidak akan berhasil bila tercerabut dari nilai-nilai sosialnya. Prinsip seperti musyawarah mufakat, gotong royong, dan keadilan komunal bukan sekadar simbol budaya, melainkan fondasi legitimasi sosial bagi hukum nasional (Baidhowi, 2024).
Ketika hukum nasional mengabaikan nilai-nilai lokal dan hanya meniru model asing, kita kehilangan arah. Santos (2014) menyebut fenomena ini sebagai epistemicide — pemusnahan cara berpikir lokal. Maka, menghidupkan kembali hukum adat bukanlah langkah mundur, tetapi bentuk perlawanan terhadap kolonialisme berpikir dalam sistem hukum kita.
—
Modernisasi Hukum: Perlu, Tapi Jangan Kehilangan Arah
Tidak bisa dipungkiri, dunia yang terhubung secara global menuntut sistem hukum yang modern, cepat, dan adaptif.
Namun, pembaruan hukum sering kali hanya berhenti di permukaan: mengubah struktur dan pasal, tanpa menyentuh budaya hukumnya.
Lawrence Friedman (1975) membagi sistem hukum menjadi tiga unsur: struktur, substansi, dan budaya hukum (legal culture). Jika budaya hukum diabaikan, reformasi hanya menghasilkan hukum yang bagus di atas kertas, tetapi lemah di lapangan.
Banyak reformasi di Indonesia terjebak dalam legal transplant — menyalin hukum luar negeri tanpa menyesuaikan dengan konteks sosial kita. Padahal, seperti diingatkan Teubner (1993), setiap sistem hukum memiliki nilai dan struktur sosialnya sendiri.
Pertanyaannya bukan apakah kita perlu modernisasi, tetapi bagaimana modernisasi bisa berjalan tanpa kehilangan jati diri. Sebab hukum yang terlampau elitis dan legalistik akan menjadi hukum yang terasing dari rakyatnya (alienated law).
—
Kearifan Lokal: Arah Baru Rekonstruksi Hukum Nasional
Kearifan lokal sesungguhnya dapat menjadi sumber pengetahuan hukum yang otentik.
Dalam gagasan Santos (2014) tentang Epistemologies of the South, pengetahuan lokal tidak boleh dianggap inferior, karena di sanalah letak kekuatan kontekstual hukum.
Contohnya, sistem restorative justice yang kini diadopsi dalam hukum pidana Indonesia berakar dari praktik hukum adat — penyelesaian masalah dengan musyawarah, mufakat, dan perdamaian (Halawa, 2025). Ini bukti nyata bahwa nilai lokal tetap relevan di era modern.
Namun, membangun hukum berbasis kearifan lokal butuh keberanian politik dan intelektual untuk mengubah orientasi hukum dari “berbasis teks” menjadi “berbasis konteks”.
Seperti kata Gustav Radbruch, hukum harus menjadi jembatan antara nilai dan kenyataan, bukan sekadar kumpulan aturan.
Hukum yang modern secara kelembagaan, tetapi berakar secara budaya, akan lebih berjiwa, adil, dan berkelanjutan.
—
Menemukan Jalan Tengah: Humanis, Adaptif, dan Kontekstual
Pembaruan hukum Indonesia tidak perlu memilih antara tradisi atau modernitas. Keduanya bisa berjalan beriringan.
Menurut Nonet dan Selznick (2017), hukum yang ideal adalah hukum yang responsif — hukum yang mendengar suara rakyat, menghormati nilai lokal, dan terbuka pada inovasi.
Karena itu, pembangunan hukum nasional perlu ditempuh melalui dua jalur:
1. Rekonstruksi nilai, yakni menanamkan kembali semangat gotong royong, harmoni, dan solidaritas sosial dalam sistem hukum; dan
2. Inovasi kelembagaan, membangun lembaga hukum yang efisien dan modern tanpa tercerabut dari akar moral masyarakat (Hariyanto, 2018).
Tantangan kita bukan memilih tradisi atau inovasi, melainkan menyatukan keduanya dalam harmoni. Hukum yang terlalu modern bisa kehilangan jiwanya, tetapi hukum yang terlalu tradisional bisa kehilangan daya adaptifnya.
—
Era Digital dan Masa Depan Hukum Berbasis Lokal
Revolusi digital membawa tantangan baru bagi dunia hukum. Pertanyaannya kini: bagaimana kearifan lokal tetap hidup di tengah derasnya arus teknologi dan kecerdasan buatan (AI)?
Susskind (2023) menegaskan, masa depan profesi hukum ditentukan oleh kemampuan beradaptasi terhadap digitalisasi dan big data. Namun, digitalisasi bukan berarti menghapus nilai-nilai lokal. Sebaliknya, teknologi bisa menjadi alat untuk melestarikan hukum adat, misalnya melalui digitalisasi arsip hukum adat, peta wilayah adat interaktif, hingga platform penyelesaian sengketa berbasis komunitas.
Bahaya terbesar dari digitalisasi adalah homogenisasi nilai — ketika algoritma menggantikan musyawarah, dan data menghapus makna kultural (Erickson & Gregory, 2025). Karena itu, inovasi hukum digital harus berbasis pada etika lokal, atau yang dapat disebut ethno-techno jurisprudence — penggunaan teknologi yang tetap menghormati nilai budaya masyarakat.
Masa depan hukum Indonesia bergantung pada kemampuan kita memadukan kecanggihan teknologi dengan kebijaksanaan lokal.
—
Penutup: Hukum yang Hidup dari, oleh, dan untuk Rakyat
Menjembatani tradisi dan inovasi bukan sekadar urusan akademik. Ini adalah agenda kebangsaan.
Hukum yang berpijak pada kearifan lokal adalah hukum yang memahami manusia Indonesia — dengan spiritualitas, moralitas, dan solidaritasnya.
Pembaruan hukum berbasis nilai lokal adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi hukum Barat dan kolonialisme intelektual. Inilah langkah menuju hukum yang berjiwa Nusantara: modern, tetapi tetap membumi.
Hukum Indonesia masa depan harus menjadi hukum yang hidup, adil, dan beradab — hukum yang tumbuh dari rakyat, bekerja untuk rakyat, dan kembali kepada rakyat.
DAFTAR REFERENSI
Agus Susanto, H. (2021). Perspektif Keadilan Hukum Teori Gustav Radbruch dalam Putusan PKPU PTB. JATISWARA, 36(3), 329. https://doi.org/https://doi.org/10.29303/jtsw.v36i3.341
Alanam, M. (2025). Teori Keadilan Perspektif Gustav Radbruch: Hubungan Moral Dan Hukum. Jurnal Humaniora : Jurnal Ilmu Sosial, Ekonomi dan Hukum, 9(1), 119–133. https://doi.org/10.30601/humaniora.v9i1.6393
Aulia, M. Z. (2018). Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo: Riwayat, Urgensi, dan Relevansi. Undang: Jurnal Hukum, 1(1), 159–185. https://doi.org/https://doi.org/10.22437/ujh.1.1.159-185
Baidhowi, N. R. (2024). Gotong Royong Sebagai Fondasi Moral Budaya: Perspektif Hukum Dan Keharmonisan Sosial. PROSIDING MIMBAR JUSTITIA Seminar Nasional Harmonisasi Hukum Administrasi Negara Dalam Konteks Pemerintahan Daerah dan Kearifan Lokal. Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, 1(1), 55. https://jurnal.unsur.ac.id/pmj/article/view/4220/0?utm_source=chatgpt.com
Ehrlich, E. (2019). Fundamental Principles of the Sociology of Law. Routledge Taylor & Francis Group. https://api.pageplace.de/preview/DT0400.9781351518352_A30457246/preview-9781351518352_A30457246.pdf
Erickson, J., & Gregory, M. (2025). Against Algorithmic Clarity : Law Beyond Specification. International Journal for the Semiotics of Law – Revue internationale de Sémiotique juridique, September. https://doi.org/https://doi.org/10.1007/s11196-025-10379-5
Friedman, L. M. (1975). The Legal System: A Social Science Perspective. Russell Sage Foundation. https://doi.org/10.2307/2148447
Halawa, D. (2025). Hukum Adat sebagai Instrumen Restorative Justice dalam Penyelesaian Sengketa di Masyarakat sebagai Pembaharuan Hukum Nasional. Rio Law Jurnal, 6(2), 1738. https://doi.org/https://doi.org/10.36355/rlj.v6i2.1837
Hariyanto, H. (2018). Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi, 1(1), 40. https://doi.o. (Red)











