Sampang, Potretrealita.com – Dugaan pelanggaran dalam penerbitan sertifikat tanah di Kabupaten Sampang kembali mencuat. Hasil konsultasi dan koordinasi dengan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sampang mengungkap adanya indikasi pemberian keterangan palsu pada akta otentik serta dugaan penerbitan sertifikat tanpa proses survei dan pengukuran resmi.
Dalam pertemuan di kantor BPN Sampang, Wartawan media liputanJatimBersatu,com. melakukan wawancara dengan dua konsultan hukum yakni Ibu Lidya dan Ibu Ami serta Pak Joko, staf bagian penerbitan/pembuatan sertifikat. Dari hasil pembicaraan tersebut, ditemukan sejumlah fakta mencengangkan.
1. Sertifikat Tahun 2012 Diduga Terbit Tanpa Survei
Menurut keterangan Pak Joko, sertifikat tahun 2012 atas nama Moh. Sama Urip dan Hj. Fatim, yang berasal dari Petok D Letter C No. 3013 dengan luas 119 meter persegi, ternyata tidak pernah dilakukan survei maupun pengukuran oleh BPN Sampang.
Hal ini, menurut Abd. Rohim, merupakan bentuk pelanggaran dan kecerobohan serius dalam penyelenggaraan administrasi negara. Ia menilai bahwa tindakan tersebut melanggar kewenangan pejabat pembuat sertifikat dan dapat menimbulkan kerugian hukum bagi pihak lain.
2.Pada tahun 2019, anggota Polsek Ketapang menginformasikan adanya sertifikat atas nama Hj. Nawawi, yang disebut hasil jual beli dari Urip dan Hj. Fatim.
Namun, pada tahun 2017, Hj. Nawawi sempat mengajukan pengukuran ulang bersama petugas ukur BPN, perangkat desa, serta disaksikan oleh anggota Polsek dan Babinsa. Proses tersebut batal dilaksanakan karena adanya sanggahan dari Sdr. Sunaidi, orang tua pihak pengadu, yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah tersebut.
Bukti berita acara pembatalan pengukuran memperkuat bahwa kegiatan itu tidak sah dan tidak dapat dilanjutkan.
3. Diduga Bangun di Atas Tanah yang Bukan Miliknya
Kendati sudah disanggah, pada tahun 2021 Hj. Nawawi tetap membangun bangunan di atas tanah sengketa tersebut. Padahal, berdasarkan data, lokasi tanah yang tercantum dalam sertifikat Hj. Nawawi seharusnya berada di Persil 24, bukan di Persil 24A yang diketahui merupakan milik pihak pengadu.
Dari hasil konsultasi tersebut, Pak Joko menyimpulkan bahwa Hj. Nawawi tidak membeli tanah, melainkan hanya membeli kertas (sertifikat).
Ia menegaskan, dalam setiap transaksi jual beli tanah, harus dilakukan survei dan pengukuran ulang oleh petugas BPN agar sah secara hukum. Karena pengukuran tidak pernah dilakukan dan sempat disanggah oleh pemilik tanah, maka tindakan Hj. Nawawi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dan penyerobotan tanah.
Masyarakat Desak Penegakan Hukum
Kasus ini kini menjadi perhatian publik. Warga meminta agar Kapolres Sampang dan Polda Jawa Timur bertindak tegas dalam menegakkan hukum dan membongkar praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat kecil.
“Penegak hukum harus hadir untuk memberikan kepastian dan keadilan. Jangan biarkan rakyat tertindas karena permainan oknum,” tegas salah satu warga yang enggan disebut namanya.
Hingga berita ini diterbitkan, kasus tersebut belum mendapatkan penyelesaian dari aparat penegak hukum, dan masyarakat berharap keadilan dapat segera ditegakkan di Kabupaten Sampang. (Red)