Sidoarjo, Potretrealita.com – Bagi seorang pengasuh, para santrinya adalah separuh jiwanya jika bukan segalanya, baginya para muridnya itu adalah anak-anak ruh-nya, anak-anak yang hanya tidak terlahir dari rahim istrinya, baginya kebahagiaan mereka adalah kebahagiaannya, kenyamanan mereka adalah kenyamanannya, kesedihan mereka adalah kesedihannya, dan kesuksesan mereka adalah puncak cita-citanya
Dalam deretan figur pengasuh yang saya ketahui, ada guru saya Almarhum Syaikhina Maimoen yang saya tau betul setiap bakda sholat tak pernah absen mendoakan para santrinya agar betah dan nyaman mengaji di pesantrennya, ada guru saya Sayyidil Habib Umar yang di tengah musim dingin mencekam pernah membagi selimut istri dan anaknya untuk para santrinya, ada Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai-nya para Kiai di Nusantara yang pernah tidur satu bantal dengan santrinya Kh. Abdul Fattah Mangunsari.
Orang yang tidak pernah tau dunia pesantren mungkin tak akan faham kasih sayang unik dan tanpa batas itu, bagaimana para pengasuh justru lebih banyak meluangkan waktu, tenaga dan fikiran untuk para santri bahkan melebihi keluarga mereka sendiri : Mengajar berkali-kali dalam sehari, merawat, mendidik, menasehati, mengawasi, mendoakan, mengimami sholat berjama’ah, mereka benar-benar mewakafkan hidup mereka untuk mendidik tanpa menerima bayaran sepeserpun dari para santrinya.
Sejak pertama kali menjadi seorang pengasuh setelah wafatnya abah, meskipun hanya seorang pengasuh kecil-kecilan, saya merasakan betul apa yang dirasakan para pengasuh hebat itu, saya pernah mendapat tamu seorang wali santri, yang setiap menyambangi juga rutin menanyakan update terkini tentang anaknya, suatu ketika ia curhat tentang masalah yang sedang dialami anaknya, mendengar ceritanya sesak rasanya dada ini, bagaimana bisa ada masalah yang luput dari pengawasan saya dan justru disampaikan oleh orang tua yang ada di jauh sana ? setelah menemuinya, saya lekas menyendiri di kamar dan menangis sesenggukan, merasa tidak berguna menjadi seorang pengasuh.
Karena itu ketika pertama kali kabar tentang rubuhnya Musholla Ponpes Al-Khoziny datang, selain ngilu memikirkan nasib puluhan santri yang terjebak di reruntuhan, saya juga tidak bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kiai Abdussalam Mujib sebagai pengasuh Al-Khoziny ? tapi ternyata beliau masih berusaha untuk terlihat tegar, beliau masih berkenan memberi waktu untuk wartawan, saat dicecar berbagai pertanyaan, saya yakin-seyakin-yakinnya hati dan fikiran beliau tidak bersama para awak media, melainkan tertinggal bersama para anak-anaknya yang ada di bawah reruntuhan itu, akhirnya dengan bahasa yang terbata-bata, seorang pengasuh sepuh yang biasanya lancar berceramah dan mengajar itu berkata :
“ ini takdir, semuanya harus sabar, semoga Allah berikan ganti yang terbaik “
tak berselang lama, komentar itu mendapat jutaan hujatan dari para netizen, ucapan itu dianggap sebagai pengalihan dari tanggung jawab dan rasa bersalah, juga dituduh sebagai ketidakpedulian seorang pengasuh kepada musibah yang dialami para santrinya
Saya justru tidak membaca seperti itu, bisa jadi di tengah tanggung jawab moral dan tekanan yang sangat berat, ditengah tuntutan untuk tetap kuat dan membuat kuat, yang beliau ingat ketika itu adalah ayat :
قل لن يصيبنا الا ما كتب الله لنا
“ katakanlah tidak ada yang menimpa kita kecuali apa yang telah Allah takdirkan untuk kita “
atau bisa jadi saat itu, ketika perasaan beliau hancur lebur mencapai titik terendah beliau hanya teringat pesan Baginda Nabi untuk menguatkan diri :
وإن أصابَك شيءٌ فلا تقلْ : لو أني فعلتُ لكانَ كذا وكذا ، ولكن قلْ قدَّرَ اللهُ وما شاءَ فعلَ فإن لو تفتحُ عملَ الشيطانِ
“ Jika sesuatu menimpamu, maka janganlah kau berkata: Seandainya aku melakukan ini, tentu akan terjadi begini dan begitu. Tetapi katakanlah: Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Dia kehendaki, pasti akan terjadi. Karena kata seandainya akan membuka (pintu) godaan setan “
Saya juga tidak membaca ucapan itu memakai kacamata neziten yang lekas saja mengajari beliau tentang cara berdalil dengan takdir, karena saya yakin sebagai seorang kiai sepuh yang alim, Kiai Salam tentu paham betul sebuah kaidah dasar yang telah disepakati para ulama :
وقد أجمع أهل الإسلام على أن القدر يتعزى به أهل المصائب ولا يحتج به في المعائب
“ Takdir bisa menjadi alasan untuk menguatkan diri ketika menghadapi musibah, tapi tidak bisa menjadi alasan untuk membenarkan suatu kesalahan “
Sekali lagi ini musibah beliau sendiri, yang menimpa para belahan jiwanya sendiri, beliau tidak sedang mengomentari musibah orang lain.
Pada akhirnya, kita masih dalam mode berkabung, duka di Buduran masih jauh dari kata usai, tidak elok jika kita – lebih-lebih dari kalangan pesantren sendiri – malah justru sibuk melayangkan kritikan apalagi hujatan hanya untuk mencari pelampiasan amarah, kekesalan dan keputus-asaan, jangan sampai kita menjadi manusia yang mati empati, tau mengapa Baginda Nabi Saw pernah berpesan saat wafatnya Sayyidina Ja’far Bin Abi Thalib :
اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم ما يشغلهم
“ buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan fikiran mereka “ ?
karena seorang yang tertimpa ujian tak akan sempat bahkan untuk memikirkan dirinya sendiri
Maka ketika kita menangis memikirkan mereka puluhan santri yang masih terjebak di reruntuhan sampai detik ini, ketika kita ngilu membaca berita kaki dan tangan mereka yang harus diamputasi, ketika hati kita teriris-iris mendengar tangisan dan ratapan para keluarga korban, ketahuilah fikiran dan perasaan para keluarga ponpes Al-Khoziny – lebih-lebih pengasuh – jauh lebih hancur sehancur-hancurnya, luka mereka sudah begitu menganga dan tak perlu kita taburi garam lagi, meminjam kata hikmah dalam bahasa Arab :
ارفقوا بكل أحد فكل نفس مليئة بما يكفيها
“ berbaiklah kepada siapapun, karena setiap orang sudah punya ujian yang lebih dari cukup “
(Mul)