Gresik, Potretrealita.com – Terkait Isu gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) RI. Setara 3 Juta Perhari mendadak viral mendapat penolakan publik. Pendapat ini mencuat setelah adanya pernyataan anggota Komisi I DPR, *TB Hasanuddin* . yang menyebut “take home pay” anggota Dewan kini bisa melampaui Rp. 100.000,000,- “Seratus Juta” perbulan karena adanya tambahan kompensasi perumahan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bumi Persada Nusantara Abdus Salim, S,H., M.H mengatakan, Pernyataan tersebut segera diterjemahkan oleh masyarakat sebagai kenaikan sebagai kenaikan gaji yang beredar luas di media sosial, sehingga memicu perdebatan tajam antara fakta dan persepsi, lebih lanjut bahwa kita ketahui kalau saat ini “Masyarakat mendapatkan kesulitan dalam hal-hal yang mendasar , seperti halnya kebutuhan pokok sehari-hari dan pajak yang dinaikkan, sehingga adanya keputusan tunjangan soal perumahan ini bukan -bukan merupakan keputusan yang patut dikeluarkan ditengah-tengah kondisi ekonomi daya beli masyarakat yang menurun.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.Puan Maharani menegaskan tidak ada kenaikan gaji pokok bagi anggota Dewan. Penjelasan serupa disampaikan Sekjen DPR Indra Iskandar yang menekankan tambahan Rp. 50.000.000,. “lima puluh juta” per bulan merupakan tunjangan rumah, bukan kenaikan gaji, setelah rumah jabatan anggota dikembalikan ke negara.
Namun bagi masyarakat, perdebatan istilah adalah tetap besarnya angka yang diterima pejabat Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) RI, dibandingkan kenyataan sehari-hari rakyat yang mengalami kesulitan ditengah-tengah daya beli ekonomi yang menurun.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok seorang anggota DPR ditetapkan sebesar Rp 4,2 juta per bulan, Besarnya berbeda bagi pimpinan DPR, dimana ketua DPR menerima gaji pokok Rp 5,04 juta per bulan, sementara Wakil Ketua DPR memperoleh Rp 4,62 juta per bulan. Tunjangan di luar gaji DPR Selain gaji pokok, angota DPR RI mendapatkan berbagai macam tunjangan. Bila ditotal, tunjangan dan gaji anggota DPR mencapai lebih dari Rp 70. 000,000,- tujuh puluh juta “dalam sebulan.
Sehingga apabila ditotal keseluruhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) RI melampaui Rp 100.000.000,- seratus juta “perbulannya. Tak heran bila masyarakat menolak dengan keras. Lembaga antikorupsi dan angkademisi menilai kebijakan ini berpotensi menjadi pemborosan, apa lagi jika dikalkulasi selama lima tahun penjara untuk 580 anggota DPR. Kritik bukan sekedar pada besarnya angka, melainkan pada minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam menjelaskan dasar kebijakan tersebut kepada publik.
Bahwa perlu kita garis bawahi, uang tunjangan yang diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) RI merupakan Dari pajak rakyat. Pajak yang setiap tahun makin beragam dan makin tinggi. Ada PPN, PPH, pajak kendaraan, pajak bumi dan bangunan, pajak hiburan, sampai pajak plastik yang baru digulirkan. Masyarakat dituntut membayar dengan disiplin, apa bila tidak maka mendapatkan Denda, bahkan terancam pudana jika telat. Sementara di sisi lain, hasil pungutan itu mengalir deras ke fasilitas mewah bagi pejabat Pemerintah. Rakyat seperti diperas, sementara para pejabat justru makin sejahtera dan Masyarakat semakin Sensara sehingga menimbulkan ketidak Adilan antara Kesejahteraan Pejabat dengan Kesejahteraan Masyarakat, maka dengan ini terjadi suatu kepentingan terjadi suatu ketimpangan yang menusuk rasa keadilan Masyarakat.
Harapan Masyarakat sederhana, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI harus segera membuka dash board keterbukaan hak keuangan anggota legislatif, lengkap dengan audit independen atas kebijakan tunjangan perumahan.
Abdus Salim, S.H., M.H menyatakan tunjangan yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sangat tidak relevan dan harus dicabut mengingat kondisi daya beli ekonomi masyarakat yang sangat lemah, serta agar terciptanya rasa kesejahteraan dan keadilan antara masyarakat dengan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dengan Masyarakat. (Red)