Sulsel, Potretrealita.com – Sidrap hari ini tengah bergolak. Bukan karena pergolakan politik besar-besaran, melainkan karena suara rakyat kecil yang merasa dipinggirkan dalam kebijakan yang seharusnya berpihak kepada semua.
Kasus relokasi pedagang Pasar Lawawoi membuka luka yang selama ini mungkin tak terlihat: diskriminasi yang diduga berbasis politik, dalam pengelolaan hak hidup rakyat.
Pasar Lawawoi, yang telah direhabilitasi melalui semangat gotong royong dan dana swadaya masyarakat, kini justru menjadi medan baru ketidakadilan. Pedagang lama — yang telah membangun denyut ekonomi pasar selama bertahun-tahun — banyak yang tidak kebagian lapak di bangunan baru. Yang lebih miris, sebagian besar dari mereka diketahui bukan pendukung Bupati Syaharuddin Alrif saat Pilkada lalu.
Isu yang berkembang di masyarakat bukan lagi sekadar soal “keterbatasan tempat”, melainkan soal sengaja dibuatnya berbagai alasan administratif untuk menyingkirkan pedagang non-pendukung. Tudingan bahwa mereka tidak mau membayar biaya relokasi, dianggap terlalu menekan pengelola, atau dalih-dalih teknis lain, semuanya mengarah pada satu pertanyaan besar:
Apakah di Sidrap hari ini, keberpihakan terhadap rakyat kecil hanya berlaku bagi mereka yang punya kesamaan pilihan politik?
Demokrasi adalah janji suci bahwa setelah pemilu, semua warga — tanpa kecuali — harus diperlakukan adil. Jabatan kepala daerah bukanlah hadiah bagi kelompok tertentu, melainkan amanah untuk memelihara seluruh warga, termasuk mereka yang pernah berbeda pilihan.
Namun realita di Pasar Lawawoi berbicara lain. Para pedagang lama harus merelakan lapak mereka direbut pendatang baru yang — kebetulan — memiliki kedekatan dengan kelompok tertentu.
Lebih ironis lagi, muncul dugaan adanya pungutan liar hingga Rp35 juta bagi pedagang yang ingin mendapatkan tempat. Padahal tarif resmi dari pemerintah tidak pernah sebesar itu.
Apakah ini bentuk pengkhianatan terhadap semangat pelayanan publik yang bersih dan adil?
Pedagang kecil seperti Viena, dan banyak lainnya, kini kehilangan sumber penghidupan. Mereka bukan hanya kehilangan lapak, mereka kehilangan harga diri. Di tanah mereka sendiri, di pasar yang mereka hidupkan, mereka diperlakukan seolah-olah warga kelas dua.
Rakyat Sidrap kini menunggu:
Apakah Bupati Syaharuddin Alrif akan mendengar suara ini?
Apakah ia akan turun tangan membuktikan bahwa keadilan tidak mengenal garis dukungan politik?
Ataukah rakyat harus menerima kenyataan pahit bahwa keadilan hanya sebatas janji saat kampanye?
Sidrap tidak butuh pemimpin yang hanya pandai berbicara soal persatuan saat kampanye, lalu lupa mengamalkannya saat berkuasa. Sidrap butuh pemimpin berjiwa besar — yang mampu merangkul semua, baik yang mendukung maupun yang berbeda, sebagai satu keluarga besar rakyat Sidrap.
Karena di akhirnya, jabatan akan berlalu, kekuasaan akan berganti, tapi catatan sejarah tentang keadilan — atau ketidakadilan — akan tetap abadi dalam ingatan rakyat. (Mul)